Kementerian Agama (Kemenag) saat ini tengah menyusun Peraturan Menteri Agama (PMA) yang akan memisahkan regulasi terkait tata cara perhitungan zakat mal dan zakat fitrah dari aturan pemanfaatan zakat untuk keperluan produktif. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kejelasan aturan pada masing-masing aspek agar lebih terstruktur dan fokus dalam pelaksanaannya.
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag, Waryono Abdul Ghafur, menjelaskan bahwa rancangan PMA yang mengatur pemanfaatan zakat dalam kegiatan usaha produktif bertujuan untuk membantu perekonomian fakir miskin guna meningkatkan taraf hidup mereka.
Regulasi tersebut mencakup prosedur pendistribusian, kriteria penerima manfaat, mekanisme pelaporan, serta peran Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam pengelolaan zakat secara efektif.
“Kami yakin, pendayagunaan zakat yang tepat sasaran dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Waryono di Jakarta, Sabtu (22/2/2025).
Penyusunan regulasi ini merupakan bagian dari strategi Kemenag dalam memaksimalkan fungsi zakat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi. Kebijakan ini diharapkan menjadi solusi dalam upaya pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan baik di tingkat nasional maupun daerah.
Rancangan PMA ini disusun dengan merujuk pada Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang memberikan keleluasaan dalam pemanfaatan dana zakat untuk program ekonomi produktif.
Namun, pemanfaatan zakat ini harus memenuhi empat ketentuan utama, yakni kebutuhan dasar mustahik (penerima zakat) seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal telah terpenuhi, kesesuaian dengan prinsip ajaran Islam, memberikan dampak ekonomi yang positif bagi fakir miskin, serta mustahik yang berada dalam cakupan wilayah kerja BAZNAS atau LAZ.
Pendayagunaan zakat ini bisa diberikan baik kepada individu maupun kelompok fakir miskin yang mendapat pendampingan dari amil zakat setempat. Program ini akan difokuskan pada tiga sektor utama, yakni dukungan permodalan usaha, peningkatan keterampilan sumber daya manusia, serta pemberdayaan masyarakat berbasis potensi ekonomi lokal.
BAZNAS dan LAZ akan menjalankan pemanfaatan zakat ini melalui tiga tahapan, yaitu perencanaan, implementasi, dan pengawasan. Pada tahap perencanaan, dilakukan analisis sosial, penyusunan program kerja, serta perancangan kegiatan.
Tahap implementasi mencakup verifikasi usulan program dan pendampingan bagi penerima manfaat. Sementara itu, tahap pengawasan dilakukan dengan cara memantau serta mengevaluasi program yang telah dijalankan agar tetap sesuai dengan tujuan awal.
“Laporan pendayagunaan zakat wajib disampaikan secara berjenjang setiap enam bulan dan akhir tahun. Data mencakup identitas mustahik, jenis usaha, jumlah dana, serta perkembangan usaha,” tambah Waryono.
Ia menegaskan bahwa regulasi ini disusun agar pemanfaatan zakat dapat selaras dengan kebijakan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan. Zakat tidak hanya dimaknai sebagai kewajiban keagamaan, tetapi juga sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi umat.
“Kami ingin zakat menjadi motor penggerak ekonomi berbasis komunitas, terutama di daerah dengan potensi lokal yang belum tergarap optimal,” pungkasnya.