DeepSeek AI berhasil mencuri perhatian dunia dalam waktu singkat dengan menghadirkan model kecerdasan buatan yang lebih terjangkau namun tetap mampu bersaing dengan raksasa industri seperti ChatGPT. Namun, di balik euforia ini, pakar keamanan siber mengingatkan masyarakat Indonesia agar tidak terjebak dalam fenomena FOMO (Fear of Missing Out) tanpa memahami risiko yang ada.
DeepSeek AI adalah startup asal China yang menggebrak industri teknologi dengan meluncurkan model AI bernama DeepSeek-R1. Model ini menawarkan performa yang setara dengan ChatGPT milik OpenAI, tetapi dengan efisiensi biaya yang jauh lebih tinggi. Pencapaian ini dimungkinkan berkat teknik ‘mixture of experts’, yang memungkinkan sistem hanya mengaktifkan sumber daya komputasi yang dibutuhkan untuk setiap tugas, sehingga menghemat energi dan meningkatkan efisiensi secara signifikan.
Namun, kepopuleran yang meroket ini juga membawa tantangan besar. Setelah menarik perhatian global, DeepSeek AI menjadi sasaran serangan siber dalam skala besar yang mengganggu pendaftaran pengguna baru. Akibat serangan ini, perusahaan memutuskan untuk membatasi sementara proses pendaftaran hingga situasi lebih terkendali.
Para pakar keamanan siber menduga bahwa serangan ini bisa berupa Distributed Denial-of-Service (DDoS) atau bentuk ancaman siber lainnya. Karakter open-source dari DeepSeek AI juga menimbulkan kekhawatiran tambahan karena kode sumber yang tersedia untuk umum dapat menjadi celah bagi pihak tak bertanggung jawab untuk mengeksploitasi kelemahan sistem.
“Salah satu kemungkinan utama di balik serangan ini adalah serangan Distributed Denial-of-Service (DDoS), di mana server DeepSeek AI dibanjiri dengan lalu lintas internet dalam jumlah besar untuk membuat sistem mereka tidak dapat diakses,” ungkap Chairman CISSReC Pratama Persadha.
Serangan DDoS sering digunakan untuk melumpuhkan layanan daring, baik sebagai bentuk sabotase, protes politik, maupun sebagai strategi dalam persaingan bisnis. Dengan meningkatnya permintaan terhadap model AI mereka, infrastruktur DeepSeek AI menjadi target empuk bagi pihak-pihak yang ingin menguji ketahanan sistem atau bahkan melemahkan dominasi DeepSeek dalam industri AI.
“Faktor lain yang membuat DeepSeek AI menjadi target serangan adalah sifatnya yang open-source dimana model yang tersedia secara terbuka sering kali lebih rentan terhadap eksploitasi karena kode sumbernya dapat diperiksa oleh siapa saja,” jelasnya.
“Termasuk aktor jahat yang ingin menemukan celah keamanan dan dalam beberapa kasus, kode yang terbuka ini dapat disalahgunakan untuk membangun serangan yang lebih canggih terhadap server atau digunakan untuk menciptakan varian berbahaya dari model tersebut yang dapat memanipulasi informasi atau menyebarkan konten berbahaya,” sambung Pratama.
Selain tantangan teknis, DeepSeek AI juga menghadapi dinamika geopolitik yang kompleks. Karena berbasis di China, perusahaan ini menghadapi berbagai kendala di pasar internasional, terutama di Amerika Serikat. Isu utama yang menjadi sorotan adalah pengelolaan data pengguna. Pemerintah AS menemukan bahwa DeepSeek AI menyimpan data pengguna Amerika di server yang berlokasi di China, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi ancaman terhadap keamanan nasional. Situasi ini mengingatkan pada kontroversi sebelumnya terkait aplikasi TikTok, yang juga menghadapi tekanan serupa di Amerika.
Melihat dinamika ini, Pratama tidak menutup kemungkinan bahwa serangan terhadap DeepSeek AI bisa melibatkan aktor negara atau kelompok yang memiliki kepentingan dalam membatasi perkembangan teknologi AI asal China.
“Dalam lanskap persaingan kecerdasan buatan global, serangan siber semacam ini sering kali merupakan bagian dari strategi perang ekonomi dan teknologi yang lebih luas,” kata Pratama.
Lebih jauh, ia juga menyoroti potensi eksploitasi sistem AI oleh kelompok peretas demi keuntungan pribadi. Model AI dengan kapabilitas bahasa yang canggih dapat digunakan untuk berbagai kejahatan siber, termasuk pembuatan deepfake, manipulasi informasi, dan pengembangan metode phishing yang lebih canggih.
“Dengan menyerang infrastruktur utama DeepSeek AI, peretas mungkin ingin memperoleh akses ke sistem internal, model AI yang belum dirilis, atau data pengguna yang dapat digunakan untuk tujuan berbahaya lainnya,” pungkasnya.
Di tengah kemajuan pesat teknologi AI, masyarakat diimbau untuk tetap kritis dan waspada terhadap potensi risiko yang menyertainya. Alih-alih terburu-buru mengikuti tren, memahami keamanan dan implikasi teknologi menjadi langkah yang lebih bijak dalam memanfaatkan kecerdasan buatan.