Utang Negara Menggila: 40% PDB, Bahaya Mengintai?

Redaksi

Utang Negara Menggila: 40% PDB, Bahaya Mengintai?
Sumber: Kompas.com

Pemerintah Indonesia tengah menghadapi sorotan tajam terkait risiko tekanan utang negara. Dua lembaga internasional terkemuka, ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) dan Bank Dunia, mengungkapkan kekhawatiran bahwa tanpa langkah-langkah penanganan yang efektif, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dapat melampaui batas psikologis 40 persen dalam waktu dekat. Ini menjadi sinyal peringatan serius yang memerlukan perhatian mendesak dari pemerintah.

Rasio utang yang terus meningkat mengancam stabilitas ekonomi nasional. Ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran negara menjadi akar permasalahan utama.

Proyeksi Utang Indonesia: Ancaman Melewati 40 Persen PDB

AMRO, dalam laporan tahunan berjudul *AMRO’s 2025 Annual Consultation Report on Indonesia*, memprediksi rasio utang Indonesia dapat mencapai 42 persen dari PDB pada tahun 2029. Angka ini melewati target pemerintah yang ingin mempertahankan rasio utang di bawah 40 persen.

Proyeksi tersebut mempertimbangkan membesarnya defisit primer dan peningkatan biaya pinjaman. Meskipun pemerintah berupaya menurunkan defisit dari 2,5 persen PDB pada 2025 menjadi 2,1-2,3 persen pada 2029, AMRO menilai upaya tersebut belum cukup signifikan.

Pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan, termasuk implementasi Core Tax Administration System (CTAS). Targetnya, rasio pendapatan terhadap PDB naik dari sekitar 10 persen menjadi 12,7-13,7 persen pada 2029.

Namun, AMRO memperkirakan pendapatan negara hanya mencapai 12,8 persen dari PDB, sementara belanja negara diperkirakan naik hingga 16 persen. Ketidakseimbangan ini berpotensi memperlebar defisit dan meningkatkan tekanan utang.

Beban fiskal tambahan akibat kompensasi kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina dan PLN juga menjadi perhatian. Ketidakjelasan waktu pelaksanaan reformasi subsidi menambah ketidakpastian fiskal.

Beban Bunga Utang yang Mengkhawatirkan: Peringatan Bank Dunia

Bank Dunia turut menyuarakan keprihatinan serupa dalam peluncuran *Indonesia Economic Prospects* edisi Juni 2025. Meskipun rasio utang Indonesia terhadap PDB masih berada di level 39,36 persen, beban bunga utang terhadap pendapatan negara telah mencapai 20 persen.

Angka ini jauh di atas rata-rata negara berpenghasilan menengah ke atas yang hanya 8,5 persen. Peningkatan ini disebabkan oleh penerimaan negara yang belum optimal dan peningkatan pembayaran utang akibat kenaikan imbal hasil obligasi global.

Bank Dunia juga menyoroti dangkalnya pasar keuangan Indonesia yang berkontribusi pada rendahnya kepatuhan pajak. Banyak perusahaan belum sepenuhnya memanfaatkan sistem keuangan formal, sehingga membuka peluang penghindaran pajak.

Realisasi penerimaan pajak hingga 31 Mei 2025 baru mencapai Rp 683,3 triliun atau 31,2 persen dari target APBN 2025. Angka ini menurun 10,14 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Langkah Pemerintah dan Pandangan Ahli: Antara Strategi dan Risiko

Hingga akhir Mei 2025, pemerintah telah menarik pembiayaan utang sebesar Rp 349,3 triliun, atau 45 persen dari target tahun ini. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam lima bulan terakhir selama lima tahun terakhir, mendekati level saat pandemi Covid-19 pada 2020.

Pemerintah menyatakan mengelola pembiayaan dengan strategi fleksibel, termasuk prefunding dan penguatan cadangan kas. Namun, realisasi APBN hingga Mei 2025 mencatat defisit Rp 21 triliun atau 0,09 persen dari PDB, berbalik dari surplus pada April.

Belanja negara telah melampaui pendapatan. Kondisi ini memicu kekhawatiran dari para ahli ekonomi. Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai data tersebut sebagai sinyal peringatan bagi pemerintah.

Pemerintah perlu lebih berhati-hati karena kewajiban pembayaran utang terus meningkat, sementara kemampuan fiskal belum mampu mengimbangi laju kebutuhan pembiayaan. Penanganan yang tepat dan segera diperlukan untuk mencegah memburuknya kondisi fiskal Indonesia. Keberhasilan reformasi perpajakan dan efisiensi belanja negara menjadi kunci utama dalam mengatasi tantangan ini.

Also Read

Tags

Leave a Comment